Rabu, 21 Oktober 2009

MENANGIS

MENANGIS

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam

yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di

pedalaman, Abah Latif mengajak para santri untuk sesering

mungkin bersholat malam.



Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali

memasuki kalimat " iyyaka na'budu " Abah Latif biasanya lantas

terhenti ucapannya, menangis tersedu-sedu bagai tak

berpenghabisan.



Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui

kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya

mengucapkan " wa iyyaka nasta'in" .



Banyak di antara jamaah yang turut menangis, bahkan terkadang

ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.



"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus

berakar," berkata Abah Latif seusai wirid bersama, " Mengucapkan

kata-kata itu dalam Al-fatihah pun harus ada akar d an

pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik

beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah

hakikat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku

selain di dalam hakikat itu."



"Astaghfirulloh, asraghfirulloh..," gemeremang mulut para santri.



" Jadi, anak-anakku," beliau melanjutkan, " apa akar dan pijakan

kita dalam mengucapkan kepada Alloh ..iyyaka na'budu?"



"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan

merupakan bimbingan Alloh itu sendiri, Abah?" bertanya seorang

santri.



"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh

mengucapkan kehidupan."



"Belum jelas benar bagiku, Abah?"



" Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan

mengucapkan kenyataan."



"Astaghfirulloh, asraghfirulloh..," geremang mulut para santri.



Dan Abah Latif meneruskan, " Sekarang ini kita mungkin sudah

pantas mengucapkan iyyaka na'budu.KepadaMu aku menyembah.Tetapi

kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk

layak berkata kepadaMu kami menyembah, na'budu."



"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian

sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai ummatan

wahidah.Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus kita

telah capai lebih dari abdullah, yakni khalifatulloh.Suatu maqom

yang dipersyarati oleh kebersamaan kamu muslim dalam menyembah

Alloh di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap

bidang kehidupan.Mengucapkan iyyaka na

Tidak ada komentar:

Posting Komentar